Kenaikan Ekonomi Indonesia 5,11% Dinilai Janggal, Berikut Analisis Datanya

Kenaikan ekonomi indonesia tetapi rakyat masih miskin?

Jakarta — Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,11% (year on year) pada kuartal II 2025. Angka ini, sekilas, menunjukkan resiliensi perekonomian nasional di tengah ketidakpastian global. Namun, sejumlah ekonom menilai capaian tersebut terasa janggal bila dibandingkan dengan kondisi di lapangan maupun indikator turunan lain yang justru melemah.

Pertumbuhan Positif di Tengah Tekanan Eksternal

Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,11% ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh stabil, serta belanja pemerintah menjelang tahun fiskal baru. Sektor jasa, khususnya transportasi, komunikasi, dan pariwisata, juga menjadi penopang utama.

Namun, jika dibandingkan dengan perlambatan ekspor-impor akibat penurunan harga komoditas global dan ketidakpastian geopolitik, angka ini menimbulkan tanda tanya. Padahal, negara mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok dan Singapura mengalami koreksi pertumbuhan yang cukup tajam.

Data Lapangan Tidak Sepenuhnya Sejalan

Beberapa indikator lain justru memperlihatkan tren yang kurang mendukung capaian 5,11% tersebut:

  • Tingkat pengangguran terbuka masih stagnan di kisaran 5–6%.

  • Daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah tertekan oleh kenaikan harga pangan dan energi.

  • Sektor manufaktur menunjukkan Purchasing Managers’ Index (PMI) yang cenderung stagnan, bahkan turun di beberapa bulan terakhir.

  • Kredit perbankan untuk sektor produktif tumbuh melambat, menandakan investasi swasta belum sepenuhnya pulih.

Dengan kondisi ini, sejumlah analis menyebut bahwa pertumbuhan di atas 5% berpotensi lebih banyak ditopang oleh konsumsi dan faktor musiman ketimbang fundamental yang kokoh.

Potensi Bias dalam Penghitungan

Beberapa ekonom menilai adanya “statistical discrepancy” atau perbedaan pencatatan antar komponen dalam sistem perhitungan PDB. Misalnya, belanja pemerintah yang dicatat lebih cepat, sementara realisasi di lapangan belum sepenuhnya terserap.

Selain itu, kontribusi ekspor yang masih cukup besar dalam PDB terasa kontras dengan realita penurunan permintaan global. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa proyeksi ekspor neto masih menggunakan asumsi optimistis.

Jika angka pertumbuhan ini memang tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil, maka:

  1. Investor bisa menjadi lebih berhati-hati karena menganggap ada potensi mismatch antara data resmi dan realitas ekonomi.

  2. Kebijakan moneter dan fiskal berisiko tidak tepat sasaran jika didasarkan pada data yang bias.

  3. Masyarakat mungkin merasakan kesenjangan antara “narasi pertumbuhan” dengan keseharian mereka yang menghadapi inflasi tinggi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,11% di kuartal II 2025 tentu patut diapresiasi, tetapi juga perlu ditelaah lebih kritis. Angka ini seakan memberi harapan stabilitas, namun ketika ditarik ke data turunan dan kondisi riil di lapangan, terlihat adanya ketidaksesuaian.

Bagi pembuat kebijakan, penting untuk memastikan bahwa angka-angka makro bukan sekadar statistik optimistis, melainkan benar-benar mencerminkan denyut ekonomi masyarakat. Tanpa itu, pertumbuhan 5% hanya akan menjadi angka di atas kertas yang sulit dirasakan secara nyata.

 

Share your love

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *